Sabtu, 01 Oktober 2011

Pintar Berhitung Tanpa Sekolah

Di hari ketiga, sejak kedatangan dari negeri Belanda, Rabu 3 Desember 2008, setelah menyelesaikan program master of science dalam bidang research and development in mathematics education, khususnya dalam realistic mathematics educationsaya tinggal di rumah kedua orang tua saya. Ya, saya tidak langsung bekerja. Tapi menjadi ‘penganggur’, sedikit nyantai, menikmati suasana rumah yang sudah relatif lama saya tinggalkan. Melepas rindu dan kangen pada kedua orang tua, adik-adik, kakak, dan saudara-saudara saya. Nikmat rasanya, tinggal dekat dengan orang-orang yang saya cintai dan mencintai saya. Mungkin ini satu contoh amat kecil kenikmatan surga yang dijanjikan sang pencipta, Allah swt, di akhirat kelak.
Selama menjadi ‘pengangguran’ tersebut, tidak banyak yang saya kerjakan. Saya lebih banyak di rumah. Walau ada sedikit yang saya baca, tapi kebanyakan ngobrol dan bersenda gurau dengan orang-orang yang saya cintai tadi. Seringkali bermanja-manja, sekedar sedikit mengenang masa kecil yang diperlakukan begitu.  (Manja aja bangga ya… Hue he he… Oiya, maaf  ya kalau dalam artikel ini saya sedikit narsis. :D )
Satu kejadian menarik, saat sedang asyik ngobrol dengan nenek dan ibu saya, yang saya pikir bisa dijadikan pelajaran bagi kita semua, terurai dalam cerita sederhana berikut ini.
Pagi itu, sekitar pukul 10 WIB,  dengan diantar seorang tukang ojek, teteh saya pulang membeli beras. Ya beras ‘seberat’ 50 kg untuk keperluan sehari-hari sekaligus menjelang hari raya Idul Adha 2008 yang lalu.
Saat sedang ngobrol, melihat kedatangan sang ojek dan teteh saya yang sempoyongan mengangkut beras, segera saya membantu sang tukang ojek membawa beras masuk ke dalam rumah. Tidak terlalu berat karena 50 kg beras terbagi dalam dua karung berukuran sedang.
Setelah membayar sang tukang ojek, saya pun kembali duduk-duduk ngobrol dengan ibu dan nenek saya di belakang rumah, di bawah rindangnya pohon jambu air yang sedang berbuah ranum. Banyak yang diobrolkan, namun tidaklah terlalu penting. Istilahnya, kami hanya ngobrol ngalor-ngidul. Dari sekian obrolan tidak penting yang kami bincangkan, ternyata masih ada saja pelajaran yang bisa saya tangkap.
“Berasnya berapa harganya?” tanya nenek saya ke teteh yang muncul dari balik pintu belakang rumah.
“Rp 265.000,-”
“Ooo… mahal juga ya berasnya sekarang?!” komentar nenek saya. Sedangkan teteh saya diam saja, mengambil sesuatu di belakang rumah.
Mendengar pertanyaan sang nenek, tiba-tiba saya sedikit iseng, usil, sedikit ngetes nenek saya. :D
“Nek, nek…, itukan dua karung beras harganya Rp 265.000,-. Nah, kalau gitu sekarungnya berapa?” tanya saya sambil senyum-senyum.
“Iiiiy, kamu itu dari dulu sukanya nanya-nanya aja. Kalau itu sih gampang… ” kata nenek saya yang sering saya tanyai banyak hal. Beliau mengerti maksud pertanyaan saya, dia tahu kalau saya hanya mengetesnya. Tapi, beliau selalu menjawab apa-apa yang saya tanyakan. Mungkin untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang  yang pintar, tidak kalah dengan cucunya yang suka ngetes neneknya. :mrgreen:
“Ya gampang itu, berapa?desak saya meminta jawaban.
“Ya itukan berarti sekarungnya… Mmmm… Rp 132.500,-” jawab  beliau.
“Betul…” kata saya. Belum sempat saya melanjutkan kata-kata saya, beliau langsung menyela dengan bangga.
“Kalau itung-itungan begitu aja sih, saya juga bisa. Ga usah sekolah juga bisa!” kata Nenek saya yang bangga karena jawabannya benar.
Bila dipikir-pikir, apa yang baru saja dikatakan nenek saya ada benarnya. Walau tidak pernah mencicipi bangku sekolah, ternyata beliau pandai juga berhitung. Ya beliau memang tidak pernah sekolah formal. Namun bukan berarti dia tidak bisa berhitung atau pun membaca. Membaca huruf latin memang dia tidak bisa, tetapi membaca tulisan arab dan menuliskannya, beliau bisa dikatakan cukup mahir.
Di jaman nenek saya kecil, mungkin tahun 1940-an, beliau tidak sekolah. Tetapi seperti umumnya orang-orang kampung di daerah saya, belajar mengaji Qur’an dari kyai sudah menjadi kebiasaan, makanya tak heran beliau bisa membaca dan menulis arab. Jadi, kita tidak bisa mengatakan bahwa nenek saya adalah seorang yang buta huruf.
“Nek, darimana dapat jawaban Rp 132.500,- itu?” selidik saya, makin mengetes beliau.
“Wedeeey… gitu aja ditanyain!” ledek nenek saya.
“Iya, dari mana!?” kesal saya diledekin.
“Ah, itukan gampang! Ya dibagi caranya!” jelas beliau.
“Iya-iya, saya tahu! Tapi gemana cara nenek mendapat jawaban itu?” desak saya, yang  terbiasa sedikit memaksa beliau bila tidak menjelaskan secara rinci. :D
“Iiiiy, kamu ini. Ngetes-ngetes aja! Ya itukan gampang aja!”
Saya terdiam, menunggu penjelasan nenek saya. Sementara itu, tampak bolak-balik keluar masuk dapur, ibu saya mulai sibuk memasak, menyiapkan makanan untuk makan siang nanti. Tapi sepertinya dia juga mendengarkan perbincangan kami karena sesekali nimbrung obrolan kami.
“Nah, kalau yang Nenek lakukan sih, cara ngitungnya begini.
Kan harga 2 karung beras Rp 265.000,- berarti harga sekarungnya diperoleh dengan cara:
Pertama, 200 ribu dibagi 2 jadi 100 ribu.
Kedua, 60 ribu dibagi 2 jadi 30 ribu.
Nah, terakhir, 5000 dibagi 2 jadi 2500.
Jadi, 100 ribu + 30 ribu + 2500 = 132.500,-.
Gampang, kan?” begitu kata Nenek saya menjelaskan, saya menyimaknya sambil senyum-senyum bangga.
“Ya, ya.. betul! Wuih ternyata pintar juga ya?” kata saya memuji beliau.
“He he he…. iya dong, saya juga pintar!” tawa nenek saya bangga.
***
“Wuuuu, Nenek kamu  kok ditanya itung-itungan begitu! Dia mah pasti bisa, wong dulunya pedagang keliling!” jelas ibu saya yang rupanya benar-benar mendengarkan perbincangan kami. Mendengar pernyataan ibu saya, Nenek makin terkekeh bangga.
Sekarang usil saya makin menjadi.
“Mah, kalau Mamah ngitung Rp 265.000 dibagi 2 bagaimana?” tanya saya pada sang ibu tercinta.
Ibu saya terdiam. Sepertinya dia berpikir.
“Mah gemana?” tanya saya, sengaja mendesak, biar kelihatan ga sabar.
“Ah belum tahu!” jawab beliau, tapi dia tampak masih berpikir, mulutnya berkomat-kamit sepertinya mengucapkan bilangan-bilangan (harga beras) tadi.
Saya cemberut, pura-pura kecewa. Saya tahu, dengan cara ini ibu saya tak akan mengecewakan saya. Sementara itu, sang Nenek, yang sejak tadi duduk di samping saya, memijat-mijat pundak saya seperti biasanya (saya hanya diam, tak kuasa menolak pijitan nikmatnya). :D
“Ah kalau Mamah sih begini caranya. Kan harga dua karung beras Rp 265.000,- berarti harga sekarungnya diperoleh dengan cara:
Pertama, 260 ribu dibagi 2 diperoleh 130 ribu
Nah, kedua, 5000 dibagi 2, jadi 2500.
Jadi, harga sekarungnya 130 ribu + 2500 = 132.500,” akhirnya begitulah penjelasan ibu saya. Lebih ringkas daripada penjelasan nenekku tersayang.
***
Sambil menikmati pijitan nikmat nenek, saya sungguh kagum pada mereka. Nenek saya, yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah bisa berhitung sebegitu cerdasnya. Dengan menggunakan kepekaan bilangan, alias number sense yang sepertinya merupakan anugrah yang dimiliki oleh setiap insan (yang normal tentu saja), dengan mudah menyelesaikan masalah pembagian. Pun Ibu saya, yang hanya sampai kelas 2 SD, dengan flexible melakukan perhitungan, tanpa diajari, tanpa menggunakan prosedur baku yang selama ini diajarkan di sekolah.
Lantas, saya jadi bertanya pada diri sendiri, kenapa orang-orang yang sekolah, siswa-siswa yang sekolah merasa kesulitan bila dihadapkan dengan masalah pembagian bilangan? Kenapa di sekolah tidak diarahkan untuk menggunakan number sense seperti yang dilakukan oleh nenek dan ibu saya tadi? Mengapa di sekolah hanya diajarkan cara-cara pembagian yang standar, dengan algoritma pembagian (yang memerlukan banyak langkah yang perlu diingat?).
Mengapa???
Mudah-mudahan, artikel dalam bentuk cerita nyata di atas, bisa diambil hikmahnya bagi kita semua, dan bagi guru (matematika) pada khususnya. Amin.
=======================================================
Ya sudah, segitu saja ya jumpa kita kali ini. Mudah-mudahan artikel ini ada manfaatnya. Amin.
Sampai jumpa di artikel mendatang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar